MAKALAH
Rasionalisme dan pemikiran Leibniz (profil dan
pemikirannya)
Makalah ini
disusun untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah
Filasafat Ilmu
Disusun
Oleh :
Hamdani
Ali (1520411047)
MANAJEMAN
KEBIJAKAN PENDIDIKAN ISLAM
PASCASARJANA
PRODI PENDIDIKAN ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM
NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2015/2016
Pendahuluan
Berfilsafat selalu terkait dengan
pengalaman umum manusia. Oleh karena itu tidak tepat kalo kalau dikatakan bahwa
orang yang berfilsafat itu melamun , tidak berpijak pada kenyataan, tidak
berpijak pada kenyataan, atau tidak
menginjak bumi. Memang kadang kala aktifitas filsafat itu melampaui
pengalaman-pengalaman kongkret, tetapi itu tidak berarti berfilsafat itu menjauhi
kenyataan-kenyataan yang ada disekitar kita. Cara berfilsafat yang baik justru
bermula dari hal-hal yang dialami sendiri oleh calon filsuf. Filsafat itu
menurut Aristoteles, dimulai dari suatu thauma (rasa kagum) yang timbul dari
suatu aporia, yakni problema yang sulit dicarikan jalan keluarnya.[1]
Apa yang telah dimulai pada zaman
Renaissans dan reformasi dan dilanjutkan secara lebih menyeluruh pada zaman
Pencerahan. Zaman ini sangat menjunjung tinggi akal budi, kebebasan, dan
kemampuan individu untuk memecahkan segala persoalan yang dihadapi serta ada
kecendruangan yang kuat untuk mengesampigkan peran tradisi dan segala macam
otoritas dari luar. Ada dua aliran filsafat yang saling bertentangan pada zaman
pencerahan, yaitu Rasionalisme dan Empirisme. Rasionalisme (khususnya perancis
dan jerman) adalah aliran filsafat yang mengajarkan bahwa sumber pengetahuan
sejati adalah akal budi atau rasio, bukan pengalaman. Pengalaman hanya dapat
dipakai untuk menegaskan pengetahuan
yang telah didapatkan dari rasio. Rasio sendiri tidak memerlukan pengalaman; ia
dapat menurunkan kebenaran-kebenaran pengetahuan dari dirinya sendiri
berdasarkan asas-asas yang pasti. Metode kerjanya bersifat deduktif, contohnya
adalah matematika.
Berlawanan dengan rasionalisme,
aliran Empirisme adalah aliran filsafat yang menyatakan bahwa pengalaman
(empeiria, bahasa yunani) merupakan sumber utama pengetahuan, baik pengalaman
lahiriah ataupun pengalaman batiniah. Rasio bukan sumber pengetahuan, tetapi ia
bertugas untuk mengolah bahan-bahan yang diperoleh dari pengalaman untuk
dijadikan pengetahuan. Metodenya bersifat induktif, contohnya adalah ilmu
pengetahuan alam.[2]
Sesuai dengan penjelasan diatas ada
dua aliran yang filsafat yang saling bertentangan pada zaman pencerahan yaitu
Rasionalisme dan Empirisme. Pemakalah akan membahas salah satu aliran yaitu
Rasionalisme akan tetapi ada banyak para filsuf Rasionalisme, pada kesempetan
kali ini pemakalah akan membahas salah satu tokoh filsuf Rasionalismu yaitu
Leibniz.
A. Rasionalisme
Rasionalisme
adalah paham filsafat yang mengatakan bahwa akal (reason) adalah alat
terpenting dalam memperoleh pengetahuan dan mengetes pengetahuan. Jika
empirisme mengatakan bahwa pengetahuan diperoleh dengan alam mengalami objek
empiris, maka rasionalisme mengajarkan maka pengetahuan diperoleh dengan cara
berpikir. Alat dalam berpikir itu ialah kaidah-kaidah logis atau kaidah-kaidah
logika. Rasionalisme ada dua macam: dalam bidang agama dan dalam bidang
filsafat. Dalam bidang agama rasionalisme adalah lawan autoritas, dalam bidang
filsafat rasionalisme adalah lawan empirisisme. Rasionalisme dalam bidang agama
biasanya digunakan untuk mengkritik ajaran agama, rasionalisme dalam bidang
filsafat terutama berguna sebagai teori pengetahuan. Sebagai lawan empirisisme,
rasionalisme berpendapat bahwa sebagian dan bagian penting pengetahuan datang
dari penemuan akal. Contoh yang paling jelas ialah pemahaman kita tentang
logika matematika.[3]
Sejarah
rasionalisme sudah tua sekali. Thales telah menerapkan rasionalisme dalam
filsafatnya. Ini dilanjutkan dengan jelas sekali pada orang-orang sofis dan
tokoh-tokoh penentangnya (Socrates, Plato, Aristoteles), dan juga beberapa
tokoh sesudah itu (lihat Runes,1971:275). Pada Zaman Modern filsafat, tokoh
pertama rasionalisme ialah Descrates. Bersamaan dengan itu terdapat juga tokoh
besar rasionalisme lainnya, yaitu BaruchSpinoza dan Leibniz. Setelah periode
ini rasionalisme dikembangkan secara sempurna oleh Hegel yang kemudian terkenal
sebagai tokoh rasionalisme dalam sejarah.[4]
Dalam
epistemology Barat, metode rasionalis memiliki tempat yang cukup istimewa,
terutama pada saat mengukur keabsahan kebenaran ilmu pengetahuan. Betapa pun
bagusnya temuan ilmu pengetahuan, bila tidak rasional ( tidak diterima akal
manusia ) kebenarannya, maka temuan tersebut tidak akan diakui sebagai
kebenaran ilmiah. Dalam epistemologi barat, penggunaan rasio menjadi mutlak
dibutuhkan. Tidak ada kebenaran ilmiah yang bisa dipertanggung jawabkan tanpa
mendapatkan pembenaran dari rasio. Para ilmuan boleh mengemukakan konsep
tentang cara-cara mendapatkan ilmu pengetahuan, tetapi konsep mereka itu harus
bisa diterima akal manusia. Rasio memberikan pertimbangan sekaligus pengujian
paling awal terhadap segala konsep untuk memperoleh pengetahuan. Pertimbagan
dan pengujian rasio terhadap konsep epistemoligi tersebut berfungsi menentukan
dan memperlancar pengakuan terhadap konsep itu, apakah diterima sebagaisuatu
kebenaran atau ditolak sebagai suatu kesalahan. Apabila onsep itu masuk akal,
maka akan diterima, namun bila bertentangan dengan akal tertentu harus ditolak.
Demikian juga bahwa kebenaran teori tertentu sangat di tentukan oleh pengesahan
rasio manusia. Teori-teori ilmu pengetahuan acap kali gugur, karena sulit
diterima akal. Pertentangan dua teori atau lebih dalam masalah yang sama
sebenarnya sebagai ajang perlombaan mengemas alasan-alasan agar rasionable
(dapat diterima akal sehat manusia).[5]
Rasio menjadi
sandaran utama dalam dalam membangun ilmu pengetahuan baik ilmu alam, ilmu
sosial maupun ilmu humaniora. Semua konsep dan teori dalam umpun ilmu tersebut
selalu terlihat dari sudut pandang pertimbangan rasio. Meskipun terdapat fakta
yang benarbenar riil, sepanjang tidak bisa dinalar dengan rasio, maka kejadian
itu tidak dapat dikatagorikan sebagai ilmu, seperti kasus santet. Santet tidak
bisa digolongkan ilmu, karena cara kerjanya tidak bisa diterima oleh akal
sehat. Oleh karena itu, sebutan yang tepat digunakan untuk santet adalah
“ngelmu”. Maka rasio memiliki kekuatan tersemdiri dan paling diperhitungkan
dalam diskursus ilmu pengetahuan.
Rasio menjadi
penentu terhadap keabsahan ilmu pengetahuan. Posisi rasio yang begitu
menentukan itu dapat mendominasi kriteria pengesahan sesuatu ilmu pengetahuan.
Bersama metode-metode epistemologis lainnya, rasio menentukan keabsahan ilmu
pengetahuan. Namun, dibanding metode-metode tersebut, rasio memiliki kekuatan
yang paling besar dalam mewarnai bangunan ilmu pengetahuan. Akibatnya seluruh
dimensi ilmu pengetahuan serba rasional dan pemikir yang memiliki komitmen yang
tinggi terhadap ilmu pengetahuan senantiasa menjadikan rasio sebagai standard
dalam menjalani kehidupan ilmiah mereka sehari-hari. Diluar diskursus ilmiah
pun rasio kerapkali melakukan intervensi dalam menentukan sesuatu keputusan,
sebab pertimbangan rasional telah menjadi tradisi mereka yang bisa muncul
setiap saat secara reflektif. Selanjutnya pertimbangan rasional cendrung
menggusur pertimbangan-pertimbangan lainnya, seperti perasaan, pengalaman dan
sebagainya dalam melakukan berbagai tindakan keilmuwan dikalangan masyarakat
modern.[6]
B. Profil Leibniz
LEIBNIZ
(1646-1716) adalah salah satu tokoh intelektual termahsyur sepanjang masa,
tetapi sebagai seorang manusia, dia tidak mengagumkan. Benarlah dia memiliki
kebaikan-kebaikan yang ingin diterakan orang dalam surat keterangan sebagai
seorang karyawan yang prospektif: dia rajin, cermat, tenang dan jujur dalam
keuangan. Tetapi dia secara keseluruhan tidak memiliki kebaikan-kebaikan
filosofis tinggi yang sangat terkenal pada diri Spinoza. Pemikiran terbaiknya
tidak membuatnya terkenal, dan dia meninggalkan catatan-catatannya tidak
diterbitkan di mejanya. Apa yang diterbitkannya di rancang untuk mengambil hari
sang putri dan pangeran. Konsekuensinnya adalah ada dua sistem filsafat yang
bisa disematkan pada Leibniz: satu, yang dikatakannya sendiri, optimistic,
ortodoks, fantastic dan dangkal; lainnya, yang telah digalinya secara
perlahan-lahan dari manuskrip-manuskripnya oleh editor-editornya belakangan,
mendalam, koheren, sangat Spinozistik dan luar biasa logis. Orang mengenal
Leibniz sebagai pencipta doktrin bahwa dunia ini adalah yang terbaik dari
segala dunia yang mungkin ada (yang oleh F.H. Bradley ditambahkan dengan
komentar tajam “dan segala sesuatu di dunia ini adalah jahat”); Leibniz jugalah
yang dijuluki secara karikatural sebagain Doktor Pangloss oleh Voltaire.
Ahistoris kalo kita mengabaikan Leibniz yang ini tetapi Leibniz yang popular
jauh lebih penting secara filosofis.
Leibniz
lahir dua tahun sebelum Perang Tiga Puluh tahun berakhir di Leipziq di mana
ayahnya menjadi profesor filsafat moral. Di universitas ini, dia belajar hukum,
dan pada tahun 1666 dia meraih gelar doktor Atdorf, di mana dia di tawari
anugerah profesor, yang ditolaknya, atas “pandangan-pandangannya yang sangat berbeda”. Pada tahun 1667, dia
menjadi pegawai keuskupan besar di Mainz, yang, seperti putri Jerman Barat
lain, ditekan oleh ketakutan pada Louis XIV. Dengan persetujuan keuskupan,
Leibniz berusaha membujuk raja Prancis untuk menginvasi Mesir daripada Jerman,
tetapi dijawab dengan sebuah surat peringatan yang santun bahwa semenjak masa
st. Louis perang suci melawan orang kafir telah ketinggalan zaman. Proyeknya
tetap diketahui publik sampai ditemukan Napoleon ketika dia menduduki Hanover
pada tahun1803, empat tahun setelah ekpedisinya sendiir ke Mesir yang gagal.
Pada tahun1672, dalam rangka proyek ini, Leibniz pergi ke Paris sebagai tempat
dia mengahibiskan lebih banyak waktunya. Kontak-kontaknya di Paris sangat
penting bagi pengembangan intelektualnya, karena Paris saat itu memimpin dunia
dalam bidang filsafat dan matematika. Di sanalah pad atahun 1675-1676 dia
menciptakan kalkulus infinitive tanpa mengetahui bahwa sebelumnya Newton telah
menulis tentang masalah yang sama tetapi tidak diterbitkan. Karya Leibniz
pertama kali diterbitkan pada tahun 1684, sedangkan Newton pada tahun 1687.
Terjadinya polemik tentang siapa yang lebih dahulu disayangkan dan merugikan
kedua belah pihak.
Di
Jerman, Leibniz telah belajara fisafat neo-skolatis Aristotelian yang
dipertahankan di sepanjang hidupnya. Tetai di Paris dia mulai mengenal
Cartesianisme dan materialism Gassendi, keduanya mempengaruhi Leibniz; pada
saat ini, katanya, dia menanggalkan “aliran-aliran remeh”, yang berarti
skolatisisme. Di parin dia mulai mengenal Melebrenche dan Arnauld Si Jansensis.
Pengaruh penting terakhir pada filsafatya adalah filsafat Spiniza, yang
ditemuinya pada tahun 1676. Dia menghabiska waktu satu bulan dalam
diskusi-diskusi yang sering di lakukan dengannya, dan menyimpan sebagian naskah
Ethics. Pada tahun-tahun kemudian,
dia bergabung untuk mencela Spinoza, dan meminimalisir kontak denganya, yang
katanya suatu kali pernah bertemu dan Spinoza menceritakan beberapa anekdot
yang baik tentang politik.
Hubungan dengan Dewan Hanover,
sebagai tempat bekerja selama sisa hidupnya, dimulai pada tahun 1673. Sejak
tahun 1680, dia menjadi pegawai
perpustakaan Dewan di Wolfenbuttel, dan menjadi penulis resmi sejarah
Brunswick. Dia telah mencapai tahun 1009. Karyanya tidak di terbitkan sampai
tahun 1843. Sebagai waktunya dihabiskan untuk mengerjakan proyek guna
menyatukan kembali gereja-gereja, tetapi gagal. Dia pergi ke Italia untuk
membuktikan bahwa para pangeran Brunswick berhubungan dengan keluarga Esla.
Tetapi selain menanggung pekerjaan-pekerjaan tersebut, dia tinggal di Hanover
ketika George I menjadi raja Inggris dengan alasan utama bahwa perdebatannya
dengan Newton membuat Inggris bersiakap tidak ramah dengannya. Namun demikian,
Putri Wales, sebagaimana dia menceritakan seluruh korespondensinya, berpihak
padanya untuk menetangnya Newton. Meski ada dukungan dari sang putri, dia
meninggal tanpa dihiraukan orang.[7]
C. Pemikiran Leibniz
Seperti halnya dengan Descartes dan Spinoza, Leibniz mendasarkan
filsafatnya atas pengertian substansinya. Sekalipun demikian ada perbedaan yang
mendalam antara ajaran Leibniz dan kedua orang yang mendahuluinya. Descartes
mengajarkan, bahwa ada substansi, yaitu Allah, jiwa dan benda, sedangkan Spinoza
mengajarkan adanya 1 substansi saja, yaitu Allah. Leibniz tidak menerima kedua
pendapat itu. Baginya substansi adalah suatu “ada” yang dapat beraksi ( un
etre capable d’action). Jadi apa yang oleh spinoza dipandang sebagai sifat
allah, oleh leibniz di terapkan kepada benda tunggal. Ia berpangkal dari
pengalaman sendiri, denganya “aku” mengenal dirinya sebagai suatu “ada” yang
berdiri sendiri “ada” ini adalah suatu aktivitas, berfikir dan berkehendak.
Sebagai “ada” yang tunggal “ada” ini dibedakan dengan yang “ada” yang
lain-lainnya. Seluruh alam semesta terdiri dari , “ada”-“ada” atau substansi-substansi
ini. Oleh kerena itu maka, menurut leibniz ada banyak sekali substansi, begitu banyak
sehingga tidak terbilang jumlahnya. Pendapat ini didasarkan atas pertimbangan,
bahwa keluasan mengandung didalamnya pengertian kejamakan. Oleh karena itu
pengertian keluasan hanya dapat dikaitkan dengan suatu jumlah substansi. Bukan
dengan satu substansi. Maka harus disimpulkan bahwa ada bilangan substansi yang
banyak sekali, bahkan bilngan yang tiada batasnya. Tiap subtsansi oleh Leibniz disebut
monade. Tiap monade bersifat tungal tidak dapat di bagi-bagi. Monade
bukanlah atom, tetapi suatu titik yang bersifat murni metafisis, tanpa bentuk
dan tanpa keluasan di dalam ruang. Monade tidak dapat dihasilkan secara ilmiah
dan tidak dapat dibinasakan. Adanya karena semata-mata karena penciptaan dan
berlangsung berada selama Allah memperkenankannya.[8]
1.
Harmonia
Praestabilita
Semua
monade diatur oleh suatu harmonia praestabilita, harmoni yang ditetapkan
sebelumnya oleh allah. Allah telah menciptakan dunia sedemikian rupa, sehinggakeaktifan
semua monade mempunyai suatu appetitus ( “tujuan”, “keinginan”, atau
“kehendak”) didalam mereka. (Appetitus ini juga disebut suatu entelecheia).
Teori ini mungkin kelihatan aneh, tetapi kalu “monadologi” dianggap sebagai
sebuah “model” metafisis, model ini
sangat berguna untuk perkembangan ilmu alam.
2.
Theodicee
Leibniz
adalah pencipta kata teodise, “pembenaran Allah” terhadap kejahatan. Leibniz
mencoba menerangkan bahwa kebaikan allah tidak bertentangan dengan
kemahakuasaan allah. Kata Leibniz, dari semua dunia yang mungkin, Allah telah
menciptakan yang paling baik. Dunia ini merupakan suatu hasil maksimal. Semua
kemungkinan lain itu lebih jelek. Pendapat ini sering diejek. Antara lain oleh
Voltaire (dalam tulisan Candide, atau “optimisme”)
3.
Dinamisme
Sumbangan
yang paling penting kepada filsafat mungkin adalah “dinamisme”-nya Leibniz,
berpendapat bahwa sesuatu pada hakekatnya merupakan “energy”, “kehendak”,
“kekuatan”, (“dinamis”). Kalau dicari bagian-bagian yang paling kecil dari
materi, bagian-bagian sub-atomis, semua istilah memang kehilangan artinya: sama
baik/jelek untuk mengatakan bahwa materi itu akhirnya “energy”, dengan
mengatakan bahwa materi akhirnya “masa”, “zat”, “substansi”. Materi itu suatu
“proses” yang bersifat energy/masa.
4.
Monadologi
Menurut
Spinoza hanya ada satu substansi : alam atau Allah. Descartes membedakan tiga
substansi : Allah, pemikiran, dan keluasan. Namun menurut Leibniz, jumlah
substansi itu tak terhingga besarnya. Kenyataan terdiri dari monade-monade:
“bagian-bagian” paling kecil, yang semua merupakan substansi-substansi.
Monade-monade tidak mempunyai ukuran; monade-monade paling baik dianggap
sebagiai “titik-titik”, yang mempunyai kuantitas energy tertentu dan arah
tertentu. Monade-monade itu seperti “jiwa-jiwa”, karena semua monade mempunyai
“kesadaran”. Namun, Monade-monade dari taraf anorganis ( materi yang tidak
hidup ), mempunyai kesadaran yang hanya dalam keadaan “mimpi”. Kesadaran
monade-monade dan taraf tumbuh-tumbuhan dan hewan sudah lebih tinggi, sedangkan
Allah, monade yang paling tinggi, merupakan kesadaran yang sempurna dan
takterhingga. Monade-monade itu inividu individu, yang sebagai “mikrokosmos”
merupakan bayangan dari “makrokosmos”. Namun monade-monade tidak terbuka untuk
makrokosmos diluar mereka. Tidak ada “jendela-jendela”, tetapi dalam keaktivan
mereka monade-monade memperlihatkan suatu korelasi dengan monade-monade lain.
Itu mungkin sebab setiap monade mempunyai suatu rencana lengkap didalamnya,
yang disesuaikan dengan rencana monade-monade lain.[9]
Tiap monade
berdiri sendiri dan mewujudkan suatu keseluruhan yang tertutup. Monade-monade
itu tidak berjendela, sehingga tiada sesutupun yang dapat keluar-masuk.
Sekalipun demikian tipa monade adalah aktif. Kerjanya bersifat imanen
semata-mata, artinya : ia mengungkapkan diri semat-mata di dalam dirinya
sendiri dan oleh dirinya sendiri. Kerjanya dalam dirinya sendiri itu terdiri
daro mengamati (percepcio) dan menginginkan (appetitus). Karya mengamati itu
terdiri dari mengamati memantulkan alam semesta sebagai keseluruhan. Oleh
karena itu barangsiapa mengenal satu monade saja secara menyeluruh, ia telah
mengetahui seluruh alam semesta. Ada tiga macam monade. Pembedaan ini di
sesuaikan dengan tingkatan kejelasan pengamatan tadi:
a)
Monade
yang hanya memiliki gagasan gelap dan tanpa disadari, yaitu monade-monade yang
menyusun bneda-benda yang tidak organis.
b)
Monade
yang memiliki gagasan yang telah sampai kepada kesadaran yang lebih atau kurang
jelas, yaitu monade-monade yang memberi indrawi.
c)
Monade
yang memiliki gagasan yang jelas dan disadari (apperceptio), yaitu jiwa
manusia yang cakap untuk mengenal hakekat segala sesuatu serta mengungkapkannya
dalam suatu defenisi.
Tiap monade dapat
mengadakan aktivitas dalam bentuk rangkap, yaitu: berbuat dan menderita, atau
aktif dan pasif. Segala gagasan yang tidak jelas disertai kepasifan dan
kebendaan. Gagasan yang jelas secara sempurna hanya dimiliki oleh Monade
tertinggi, yaitu Allah. Maka alalah adalah keaktifan yang sempurna (actus
purus), yang bebas daripada segala kebendaan. Ia adalah substansi pertama,
yang daripadanya keluar segala monade yang lain.
Tiap monade dapat
mengadakan aktivitas dalam bentuk rangkap, yaitu: berbuat dan menderita, atau
aktif dan pasif. Segala gagasan yang tidak jelas disertai kepasifan dan
kebendaan. Gagasan yang jelas secara sempurna hanya dimiliki oleh monade
tertinggi, yaitu Allah. Maka Allah adalah keaktifan yang sempurna (Actus
Purus), yang berbeda daripada segala kebendaan. Ia adalah substansi pertama
pertama, yang dari padanya keluar segala monade yang lain.
Dalam tiap monade
selain ada gagasan juga ada usaha. Yang dimaksud dengan usaha ialah daya untuk
mendapatkan gagasan (perceptio) yang baru dan yang jelas, sehingga
tercapailah gagagsan yang jelas dan disadari (apperceptio).
Di dalam tubuh
yang organis monade macam kedua dan ketigalah (yaitu yang telah memiliki
gagagsan yang telah samapai kepada kesadaran dan yang telah memiliki yang jelas
dan disadari), yang berfungsi sebagai monade pusat, yang tingkatannya lebih
tinggi daripada monade-monade yang lain. Akan tetapi dalam hal ini tidak boleh
di gambarkan seolah-olah ada hubungan kausal (hubungan sebab-akibat) antara
monade-monade itu. Tiap monade memiliki usaha dan dapat menggambarkan diri
sampai kepada tingkatan monade pusat dan sampai kepada tingkat jiwa manusia.
Telah diuraikan,
bahwa tiap monade memantulakan alam semesta dalam dirinya sendiri. Maka dapat
dikatakan, bahwa tiap monade mengungkapkan alam semesta, masing-masing
menampakkan alam semesta itudari segi lain. Hal ini disebabkan karena sifat
individualitas monade-monade itu. Tidak ada dua monade yang sama dalam segala
hal. Sekalipun demikian tiada perbedaan yang hakiki antara segala monade yang
ada. Itulah sebabnya ada kemungkinan bagi perkembangan.
Seluruh ruang diisi dengan monade,
yang semuanya cakap untuk sekedar hidup dan menjadi subur. Oleh karena seluruh
ruang di isi dengan monade maka tiada ruang kosong. Setiap ruang di antara
kelompok-kelompok monademonade yang penting telah dijembatani oleh
kesinambungan atau komunitas. Di antara makhluk-makhluk yang organis,
tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia, ada suatu rentetan bentuk-bentuk antara
yang bersambung. Oleh karena itu segala rumpun makhluk organis itu dengan
perlahan-lahan beralih dari yang satu dengan yang lain, dan perkembangan dari
yang satu kepada yang lainitu dipermudah. Segala perlawanan di dalam alas
semesta, di antara gerak dan perhentian, di antara hal-hal yang pasif dan yang
aktif, di antara Allah dan hal yang tidak ada, telah dihubungkan dengan cara
yang sama oleh mata-mata rantai.
Telah dikatakan tidak ada hubungan kausal antara monade-monade itu.
Akan tetapi disebutkan juga, bahwa ada hubungan diantara segala sesuatu yang
ada di dalam dunia ini. Bagaimana hal itu terjadi? Hubungan ini disebabkan oleh
apa yang disebut “ keselarasan yang ditentukan sebelumnya” (Harmonia
Preastebelita). Yang dimaksudyang di maksud dengan ungkapan ini ialah
demikian.ketika allah pada pemula pertama menciptakan dunia, semua monade telah
diatur sedemikian rupa, sehingga peristiwa yang terjadi dalam satu monade ada
reaksinya pada monade lain, atau jikalau terjadi perubahan dalam monade yang
satu terjadi jugalah perubahan dalam monade yang lain, yang menjawab perubahan
tersebu.
Dengan demikian keselarasan dan antara persamaaan segala sesuatu
bagi segala tingkatan perkembangan sakeli untuk selamanya telah ditetapkan
terlebih dahulu. Misalnya, jikalau saya( atau jiwa saya) hendak mengulurkan
tangan, tangan itu tentu diulurkan, sebab monade-monade tubuh pada waktu
diciptakan telah diatur sedemikian rupa hingga akan menjawab kehendak jiwa
untuk mengulurkan tangan tadi. Allah disini menggambarkan seperti orang
sutradara suatu sandiwara, atau seseorang dalang dalam pertunjukan wayang .
jikalu di dalam permainan sandiwara itu ada orang mati tertembak, kematian itu
bukan disebabkan karena tembakan tadi, melainkan karena dituntut oleh lakonnya
dan oleh jalannya cerita yang dilakukan . di dalam kejadian dunia yang besar
Allah telah mengatur terlebih dahulu segala kejadian sedemikian rupa, hingga
semua mengatur mewujudkan suatu keseluruhan yang bearti, yang kelihatannya
seolah-olah dikuasai oleh hubungan sebab-akibat. Ajaran tentang monade dan
keselarasan yang ditentukan sebelumnya itu deterapkan juga dalam ajaran leibniz
tentang manusia.
Manusia adalah
suatu kumpulan monade, yang karena keselaran yang ditentukan sebelumnya telah
dihubungkan oleh suatu “ikatan substansi” (vinculum substantiale).
Ikatan substansi adalah suatu asa metafisis yang ada di dalam segala sesuatu,
yang harus dibedakan dengan monade, dan yang tergantung kepada monade. Menurut
tubuhnya manusia termasuk monade yang pertama, manurut nafsu dan perasaanyaia
termasuk monade macam kedua, akan tetapi menurut jiwanya ia termasuk monade ke
tiga. Seluruh organisme terdiri dari monade-monade yang hidup. Namum ada monade
pusat satu, yang mengatur semuanya, yang secara khusus tampil sebagai asa
hidup,atau sebagai jiwa makhluk yang hidup. Kesatuan antara tubuh dan jiwa
disebabkan karena kerja sama antara keduanya itu beralaskan ikatan substansi (vinculum
substantiale) yang bersandar kepada keselarasan yang ditentukan sebelumnya
(harmonia praestabilita). Gambaran yang dipakai ialah: dua arloji yang
telah disusun oleh seorang tukang arloji yang ahli sedemikian rupa, sehingga
keduanya berjalan dengan cara yang menunjuk waktu yang sama, tanpa ada pengaruh
kausul di antaranya. (perlu diperhatikan perbedaan pendapat, bahwa dua arloji
itu terus-menerus diselaraskan oleh sipembuat. Akan tetapi leibniz berpendapat,
bahwa kedua arloji itu memang dibuat demikian, sehingga selalu berjalan
selaras).
Jiwa mempunyai
gagasan atau idea tentang dirinya sendiri sebagai monade pusat dan juga
mempunyai gagasan tentang monade-monade yang mengelilinginya. Hal itu mengakibatkan,
bahwa dalam pemikiran terwujudkan kesatuan manusia. Sama halnya dengan
monade-monade yang lain, monade jiwa adalah tertutup, tanpa jendela, sehingga
tiada sesuatu pun yang dapat memasukinya dari luar. Tetapi jiwa adalah suatu
mikrokosmos, suatu jagat kecil, yang memantulkan jagat raya. Isi pengetahuannya
tentang jagat raya bukan didapatkan dari luar dirinya. Isi pengetahuan itu
telah ada di dalam dirinya sendiri sebagai bawaan, dalam bentuk gagasan atau
ide yang belum sadar, tetapi yang dapat dijadikan sadar oleh imanen jiwa itu
sendiri, yaitu karena keselarasan yang ditentukan sebelumnya. Jadi pengenalan
atau pengetahuan adalah akibat kekuatan sendiri.
Di dalam
pengamatan pengetahuan masih belum jelas. Pengetahuan dalam pengamatan hanya
menghasilkan suatu gagasan atau idea yang kejelasanya dan kesadarannya masih
sedikit. Tetapi pengetahuan dalam pengamatan itu pelan-pelan dijadikan jelas
dan kemudian muncul di dalam gagasan atau ide yang jelas dan sadar sekali,
yaitu pengetahuan dalam bentuk pengertian.
Jadi dapat
dikatakan, bahwa pengetahuan kita yang lebih lanjut itu diperkembangkan oleh
pengalaman. Akan tetapi pengalaman bukanlah sumber pengetahuan dalam bentuk
pengertian akal atau kekuatan berfikir sendirilah yang lebih bekerja untuk
manaikkan isi pengetahuan, dari pengalaman menjadi pengetahuan yang jelas dan
sadar. Pengetahuan pengalaman tidak memiliki sifat umum dan sifat perlu mutlak.
Di dalam etikanya
leibniz berpegang kepada kebebasan kehendak, sehingga ia bertentangan sendiri
dengan unsur-unsur lain dari ajarannya. Bukankah ia mengajarkan, bahwa
perbuatan kehendak itu ditentukan, yaitu secara umum ditentukan oleh
keselarasan yang ditentukan sebelumnya (Harmonia Praestabilita), dan
secara khusus ditentukan dari dalam oleh gagasan-gagasan, sedemikian rupa
hingga itu dalam tiap tingkatannya diikat oleh gagasan yang sesuai dengannya. Ada 3 bentuk perkembangan usaha,
yang sesuai dengan 3 macam monade tersebut, yaitu:
a)
Nafsu
alamiah yang gelap, yang terikat kepada gagasan-gagasan yang gelap dan tidak
sadar, yang bersandar kepada perasaan tidak senang dan tidak tentram yang
samar-samar.
b)
Nafsu
indrawi yang terikat kepada gagagsan indrawi, yang berpangkal kepada pengamatan
hal yang menanyangkan dan yang tidak menyenankan.
c)
Kehendak
rohani dan akali yang tergantung kepada gagasan yang jelas dan sadar, yang
diungkapkan dalam perbuatan-perbuatan kehendak yang jelas dan sadar.
Jadi kesusilaan
adalah hasil suatu “menjadi” yang terjadi di dalam jiwa. Perkembangan dari
nafsu alamiah yang gelap sampai kepada kehendak yang sasar, yang bearti sampai
kepada kesadaran kesusilaan yang telah tumbuh lengkap, disebabkan karena
aktivitas jiwa sendiri. Segala perbuatan kehendak kita sejak semula telah ada.
Apa yang benar-benar kita kehendaki telah terkandung sebagai benih didalam
nafsu alamiah yang gelap. Oleh karena itu tugas kesusilaan pertama adalah
meningkatkan perkembangan itu dala diri manusia sendiri. Kesusilaan hanya
berkaiatan dengan batin kita. Akibat yang biak dab jahat. Kehendak baik ialah
jikalau perbuatan kehendak yang baik dan jahat. Kehendak baik ialah kijalau
yang sesuai dengan gagasan yang jelas dan aktual dan begitu juga sebaliknya.
Di dalam filsafat
agamanya leibniz menerapakan usahanya yang menuju kepada kesatuan dan harmoni
atau keselarasan di bidang ajaran tentang keberdaan.Menurut dia, ada
keselarasan di antara iman dan pengetahuan, suatu keselarasan keagamaan (Hamonia
Religion), yang menghubungkan kawasan alamiah yang bersifat fisis dengan
kawasan kasih kurnia karunia yang susila, serta yang mengendaikan keyakianan,
bahwa kebenaran yang diwahyukan di dalam agama kristen itu mengatasi akal,
tetapi tidak bertentangan dengan akal.
Untuk membuktikan
adanya allah ia pertama-tama mempergunkan alasan yang a priori , yaitu pengada yang ada karena hakekatnya
sendiri tentu mungkin ada. Pengada yang demikian itu adalah allah. Jadi allah
ada, jikalau ia mungkin berada. Padahal ia mungkin berada, jadi ia ada. Jikalau
ia mungkin berada. Padahal ia mungkin berada, jadi ia ia ada di samping alasan a
priori ini leibniz memakai juga alasan a posteriori, yaitu bukti kosmologis, bukyi psikologis dan
bukti teologis tentang adanya allah. Di dalam bukti psikologis di kemukakan,
bahwa oleh karena kosmos adalah allah. Di dalam bukti psikologis dikemukakan,
bahwa sekalipun manusia dipuaskan dengan segala kebutuhan jamaniah oleh malam
ini, namun pada dasarnya manusia tetap merasa cekela, sebab dapat diberikan
oleh alam.
Kehendak Allah
dipandang sebagai ditentukan oleh pengetahuanNya. Oleh karena itu maka allah
tidak dapat lain daripada menciptakan dunia sebaik mungkin, sebab tentu allah
mempunyai gagasan tentang dunia yang sebaik mungkin, dan ia pasti menghendaki
dan menciptakan dunia itu. Seluruh alam semesta ini oleh karenanya menjadi
bukti kebenaran, bahwa allahlah yang menciptakannya dan yang memrintahkan dengan
bijaksana.[10]
Kesimpulan
Rasionalisme
adalah paham filsafat yang mengatakan bahwa akal (reason) adalah alat
terpenting dalam memperoleh pengetahuan dan mengetes pengetahuan. Jika
empirisme mengatakan bahwa pengetahuan diperoleh dengan alam mengalami objek
empiris, maka rasionalisme mengajarkan maka pengetahuan diperoleh dengan cara
berpikir. Leibniz berpendapat Baginya
substansi adalah suatu “ada” yang dapat beraksi ( un etre capable d’action).
Tiap subtsansi oleh Leibniz disebut monade. Tiap monade bersifat tungal
tidak dapat di bagi-bagi. Monade bukanlah atom, tetapi suatu titik yang
bersifat murni metafisis, tanpa bentuk dan tanpa keluasan di dalam ruang. Monade
tidak dapat dihasilkan secara ilmiah dan tidak dapat dibinasakan. Adanya karena
semata-mata karena penciptaan dan berlangsung berada selama Allah
memperkenankannya.
Rujukan
Ahmad Tafsir. Filsafat Umum. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2004.
Hadiwijono,
Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: Kanisius, 1980.
Hamersma,
Harry. Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern. Jakarta: PT Gramedia, 1983.
Petrus,
Simon. Petualangan Intelektual Konfrontasi Dengan Para Filsuf Dari Zaman
Yunani Hingga Zaman Modern. Yogyakarta: Kanisius, 2004.
Qomar,
Mujamil. Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional Hingga Metode
Kritik. Jakarta: Erlangga, 2005.
Rizal
Mustansyir, dan Misnal Munir. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2001.
Russell,
Bertand. Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
[1] Rizal Mustansyir dan Misnal
Munir, Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), 36.
[2] Simon Petrus, Petualangan
Intelektual Konfrontasi Dengan Para Filsuf Dari Zaman Yunani Hingga Zaman
Modern (Yogyakarta: Kanisius, 2004), 205.
[3] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum
(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), 127.
[4] Ibid., 128.
[5] Mujamil Qomar, Epistemologi
Pendidikan Islam dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik (Jakarta:
Erlangga, 2005), 64.
[6] Ibid., 65.
[7] Bertand Russell, Sejarah
Filsafat Barat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 762–764.
[8] Harun Hadiwijono, Sari
Sejarah Filsafat Barat 2 (Yogyakarta: Kanisius, 1980), 40.
[9] Harry Hamersma, Tokoh-Tokoh
Filsafat Barat Modern (Jakarta: PT Gramedia, 1983), 14–15.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar